Terdakwa perkara penyebaran berita bohong sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat Muhammad Jumhur Hidayat mengungkapkan keberatannya dengan tuntutan tiga tahun yang dijatuhkan jaksa penuntut umum kepada dirinya. Kata Jumhur, cuitannya di akun Twitter pribadi tidak memiliki banyak dampak kepada masyarakat karena tidak banyak dibaca oleh warganet. "Iya (keberatan) anda bisa bayangkan sudah lihat tweetnya kan? Dan yang kedua nanti pengacara bisa menyampaikan punya banyak bukti bahwa tweet saya itu enggak banyak dibaca orang," kata Jumhur kepada awak media di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/9/2021).
Diketahui, perkara Jumhur ini berawal dari dua cuitannya melalui akun Twitter @jumhurhidayat, yang mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah". Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini". Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh. Kendati begitu, Jumhur menyatakan, cuitan dirinya itu, tidak berdampak pada apapun, bahkan untuk kegiatan di media sosial sekalipun, karena dirinya menganggap bukan siapa siapa. "Ternyata tweet saya tidak berdampak di media sosial pun tidak berdampak, karena tidak ada nama saya di situ, yang ada dari akun akun yang lain," ucapnya.
Senada dengan itu, kuasa hukum Jumhur dari LBH Jakarta, Oky Wiratama mengatakan, jika berdasar pada fakta persidangan, seluruh saksi yang pernah dihadirkan dalam sidang, menyatakan menggelar aksi pada Oktober 2020 itu bukan karena cuitan Jumhur. Melainkan kata dia, sebagai bentuk penolakan atau kritik atas pembahasan RUU Omnibus Law kala itu. Saksi tersebut juga merupakan para peserta aksi pada Oktober lalu yang didominasi oleh serikat buruh, hingga mahasiswa.
"Saksi saksi yang hadir di persidangan dari BEM UI yang masa aksinya banyak dari Walhi, dari buruh 'kami demo bukan karena melihat postingannya pak Jumhur kami demo karena melihat ketidakadilan di dalam RUU Omnibuslaw pada saat itu, makanya kami demo'," kata Oky dalam kesempatan yang sama. Atas dasar itu, Oky menilai segala argumen yang dijatuhkan jaksa dalam tuntutannya pada sidang Kamis (23/9/2021) siang tadi adalah tidak berdasar. Bahkan kata dia, cuitan yang disampaikan kliennya tidak ada relevansinya dengan kondisi aksi di lapangan saat itu.
"Menurut saya argumen jaksa tidak bedasar sama sekali bahkan gak jelas relevansinya apa dengan postingannya dia dengan kenyataannya," ucap Oky. "Omongan itu dari mana sih masa gara gara postingan satu orang semua demo kan enggak, padahal fakta di persidangan mengatakan saksi saksi kami, 'kami demo bukan karena postingan pak Jumhur'," tukas Oky. Dituntut 3 Tahun Penjara
Dalam tuntutannya jaksa menyatakan pimpinan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) itu secara sah dan bersalah menyebarkan berita bohong sehingga membuat keonaran melalui postingan media sosial twitternya. "Terdakwa secara sah melakukan tindak pidana dengan menyiarkan berita bohong sehingga menciptakan keonaran di kalangan masyarakat,"kata jaksa dalam tuntutannya di ruang sidang, Kamis (23/9/2021). Adapun tuntutan itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama primer.
Dengan begitu, Jaksa menuntut terdakwa Jumhur Hidayat dengan pidana penjara 3 tahun penjara dikurangi masa tahanannya. "Menuntut supaya Majelis Hakim, menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Jumhur Hidayat selama 3 tahun dikurangi masa tahanan," tuntut Jaksa. Jaksa juga menuntut agar terdakwa Jumhur Hidayat segera ditahan serta beberapa barang bukti diserahkan kembali kepada terdakwa.
Hal yang Memberatkan dan Meringankan Dalam tuntutannya jaksa turut membeberkan hal hal yang memberatkan dan meringankan. Sebagai informasi Jumhur dituntut tiga tahun hukuman penjara dalam perkara ini. Pembacaan tuntutan itu digelar di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/9/2021),
Jaksa menyebut hal yang memberatkan pihaknya menjatuhkan tuntutan terhadap Jumhur karena adanya kerusuhan yang terjadi pada 8 Oktober 2020 lalu. Kerusuhan tersebut diyakini Jaksa merupakan imbas cuitan Jumhur di akun Twitter resminya. "Hal memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan di dalam masyarakat, yang mengakibatkankerusuhan pada tanggal 8 Oktober 2020," kata Jaksa dalam persidangan.
Tidak hanya itu, hal yang memberatkan jaksa menjatuhkan tuntutan ini lainnya karena Jumhur sama sekali tidak menyesali perbuatannya, serta pernah dijatuhi pidana penjara. "Terdakwa tidak menyesali perbuatannya, terdakwa pernah dijatuhi pidana penjara," sambung JPU. Sedangkan hal yang meringankan Jumhur dalam tuntutan tersebut adalah sikap sopan pimpinan KAMI itu selama persidangan berlangsung.